Gambar hanya pelengkap ilustrasi rasa dilema jurnalis dalam mengungkap kebenaran
Radar investigasi news.com
Dalam dunia jurnalisme, kebenaran bukanlah narasi objektif yang berdiri sendiri, melainkan medan tempur antara kepentingan, persepsi, dan keberanian menyuarakan realitas yang mungkin tak disukai.
Diskusi antara mantan jurnalis Times Indonesia, Ahmad Qusyairi Nurullah, dengan wartawan kanalnews.id (Helman) dan Penulis—tentang dilema menyampaikan kebenaran dalam kasus kekerasan di Legung, Sumenep beberapa tahun lalu, menjadi potret reflektif atas peran jurnalis sebagai penjaga nurani publik, sekaligus saksi sejarah dalam versi paling getirnya.dimadura
Dalam dunia jurnalisme, kebenaran bukanlah narasi objektif yang berdiri sendiri, melainkan medan tempur antara kepentingan, persepsi, dan keberanian menyuarakan realitas yang mungkin tak disukai.
Diskusi antara mantan jurnalis Times Indonesia, Ahmad Qusyairi Nurullah, dengan wartawan kanalnews.id (Helman) dan Penulis—tentang dilema menyampaikan kebenaran dalam kasus kekerasan di Legung, Sumenep beberapa tahun lalu, menjadi potret reflektif atas peran jurnalis sebagai penjaga nurani publik, sekaligus saksi sejarah dalam versi paling getirnya.
Dalam diskusi ini, penulis coba menghadirkan kasus yang bermula dari konflik antara anak buah kepala desa terpilih (AB) dan dua pemuda yang merupakan anak asuh dari mantan kepala desa, inisial A dan FK.
Berawal dari tuduhan pencurian sepeda motor yang nyatanya hanyalah kesalahpahaman, ketegangan meningkat tajam hingga hampir terjadi carok—tradisi berdarah dalam budaya Madura.
Sayangnya, rilis resmi Kepolisian saat itu menyatakan bahwa luka di tangan salah satu terduga pelaku (AB), adalah akibat bacokan. Padahal, hasil investigasi penulis di lapangan justru menunjukkan bahwa luka itu disebabkan oleh figura yang pecah saat pelaku sendiri mengamuk.
Di sini, dilema itu mencuat. Seorang jurnalis dihadapkan pada dua pilihan: menyampaikan rilis resmi yang bertentangan dengan fakta lapangan—yang berarti berbohong atas nama institusi; atau menulis hasil investigasi yang akurat namun berisiko memantik konflik horizontal yang lebih luas. Apa yang harus dipilih?
Ahmad Qusyairi Nurullah, dalam posisinya sebagai pengamat jurnalisme dan budaya, memegang prinsip bahwa tugas jurnalis adalah menyampaikan fakta apa adanya, tanpa harus memikul beban atas efek domino yang mungkin muncul setelahnya.
Dalam analogi filosofis Bahasa Madura yang ia kutip, “Mon oreng la palanga, maske konco’na carang paggun eteggu’,” terdapat kebijaksanaan lokal yang mengajarkan bahwa naluri penyelamatan diri manusia akan selalu mencari pegangan, bahkan dari benda serapuh ujung ranting bambu. Begitu pula dengan informasi: masyarakat berhak memegang kebenaran, meski pahit, sebagai pegangan menghadapi badai.
BACA JUGA: KPU Sumenep Tetapkan Paslon FAHAM sebagai Bupati dan Wakil Bupati Terpilih 2024-2029
Pendapat Qusyairi ini mewakili mazhab jurnalisme murni, bahwa berita adalah cermin realitas, bukan pengendali realitas. Ia tidak bisa dan tidak boleh dipoles agar tidak memicu amarah. Jika demikian, menurutnya jurnalis akan terjebak dalam posisi kompromi–di mana kepentingan stabilitas semu lebih diutamakan ketimbang hak publik untuk tahu.
Diskusi berlangsung hangat. Penulis menyampaikan pandangan berbeda dengan memposisikan diri sebagai jurnalis yang lebih akrab dengan denyut konflik dan suhu sosial di lapangan. Dengan asumsi, bahwa dalam masyarakat tradisional seperti di Madura, informasi bukan hanya konsumsi intelektual, tapi juga pemicu tindakan. Maka, setiap kata yang ditulis harus dihitung matang: apakah membawa maslahat (kebaikan) atau justru menimbulkan mafsadat (kerusakan).
Coba kita sajikan pendekatan yang tak kalah bijak. Misal, bahwa jurnalis di akar rumput, selain ia berperan sebagai pewarta, ia juga bertanggungjawab sebagai penjaga harmoni sosial. Sebagaimana kita ketahui, sebuah berita yang tak terkontrol bisa menyulut carok, dendam berdarah, atau bahkan memicu mobilisasi massa. Sebab itu, seorang jurnalis kadang cenderung menakar risiko, menyunting informasi dengan prinsip kehati-hatian, tanpa bermaksud mengaburkan kebenaran.
Di sinilah kita dihadapkan pada pertanyaan fundamental: Apakah jurnalis harus total netral dan melepaskan diri dari konsekuensi sosial berita? Atau sebaliknya, apakah ia harus menjadi bagian dari mekanisme sosial, menjaga agar berita tidak menjadi bara?
Dalam etika jurnalisme global, prinsip utamanya adalah akurasi, keadilan, dan keberimbangan. Jurnalis wajib menyampaikan fakta, tetapi juga bijak dalam cara menyampaikannya. Artinya, dalam kasus ini, bukan berarti seorang jurnalis dituntut untuk menyembunyikan kebenaran, melainkan mengemasnya dalam bingkai yang tidak menimbulkan hasutan. Inilah ranah editorial intelligence—kecerdasan naratif yang hanya dimiliki oleh jurnalis berpengalaman.
Sebagai contoh, fakta bahwa luka pada tangan pelaku bukan karena bacokan bisa disampaikan tanpa menyebut identitas individu secara langsung. Cerita bisa ditarik ke level yang lebih konseptual, seperti kritik terhadap ketergesa-gesaan aparat dalam menarik kesimpulan, atau pentingnya mekanisme klarifikasi sebelum penahanan dilakukan. Dengan demikian, jurnalis tetap menyuarakan kebenaran, namun tidak menyulut bara konflik.
Di sini, penulis jadi teringat pada prinsip bahwa jurnalis bukan hakim, bukan pula pemadam kebakaran. Ia adalah penjaga waktu yang merekam peristiwa; menyalinnya dalam lembaran sejarah, dan membagikannya pada publik agar mereka bisa mengambil keputusan. Tapi ini tidak berarti jurnalis bebas dari tanggung jawab moral. Tulisan seorang jurnalis bisa mengangkat atau menghancurkan, bisa memperdalam luka atau menjadi jembatan damai.
Kasus di Legung Timur di atas adalah sekelumit kisah tentang kesalahpahaman, sekaligus gambaran nyata dari bagaimana informasi bisa menjadi bahan bakar konflik. Di tengah masyarakat yang masih menjunjung harga diri dan loyalitas komunal, fakta bisa berubah menjadi senjata. Inilah mengapa jurnalis membutuhkan keberanian, kecermatan, dan kepekaan sosial yang tinggi.
Dalam dunia yang terus dibombardir informasi, peran jurnalis semakin krusial. Ia bukan hanya penutur fakta, tapi pemilah mana yang penting, mana yang bisa menunggu, dan mana yang harus disuarakan sekarang juga. Di situlah letak integritasnya. Dalam kata-kata Qusyairi, jurnalis menulis—yang lain akan mengurus akibatnya. Tapi dalam pandangan yang lebih menyeluruh, mungkin jurnalis juga harus mulai memikirkan bagaimana tulisannya tak sekadar benar, tapi juga membawa manfaat sosial.
Akhirnya, dilema antara menyampaikan kebenaran dan menjaga ketentraman akan selalu menjadi bagian dari napas jurnalisme. Tapi justru di titik itulah martabat seorang jurnalis diuji. Apakah ia hanya perantara kata, atau penjaga nurani zaman?
Karena sejatinya, jurnalis yang baik tidak hanya menulis apa yang dilihat dan didengar, tapi juga apa yang harus dimengerti. Dan dalam setiap tulisannya, terselip pilihan: Apakah ia ingin menjadi pengingat sejarah, atau justru bagian dari kepalsuan yang dicatat rapi dalam arsip kekuasaan.
Suber Dimadura .id .***