![]() |
Poto kemeriahan lebaran |
Kuningan RIN-
Lebaran adalah momen yang dinanti-nantikan oleh banyak orang sebagai ajang berkumpul dengan keluarga besar, mempererat silaturahmi, dan saling memaafkan.
Suasana penuh kehangatan dengan hidangan khas, tawa ceria, serta cerita-cerita nostalgia menjadi bagian dari tradisi yang selalu dirindukan. Namun, di balik kebersamaan yang tampak harmonis ini, ada fenomena sosial yang sering kali tidak disadari: bullying terstruktur dalam balutan silaturahmi.
Silaturahmi yang seharusnya menjadi ajang menyambung tali kasih justru kerap berubah menjadi sesi interogasi terselubung. Pertanyaan seperti “Kapan nikah?”, “Kok belum punya anak?”, “Gajinya berapa?”, atau “Kerja di mana sekarang?” sering kali muncul dalam percakapan keluarga. Meskipun diajukan dengan senyuman dan niat baik, bagi sebagian orang, pertanyaan-pertanyaan ini bisa menjadi tekanan mental yang besar.
Mereka yang belum menikah, tengah menghadapi masalah ekonomi, atau memiliki tantangan pribadi lainnya sering kali merasa terpojok dan tidak nyaman. Jawaban yang mereka berikan pun kerap terasa tidak cukup memuaskan, sehingga menimbulkan rasa cemas dan tekanan batin yang lebih dalam.
Tak hanya itu, candaan yang tampaknya ringan pun dapat menjadi luka yang tak terlihat. Komentar seperti “Kok tambah gemuk?”, “Dulu kan cantik, sekarang kok beda?”, atau “Coba lebih sukses kayak si A” sering terlontar tanpa disadari dampaknya.
Alih-alih menjadi humor yang menyenangkan, hal ini justru menciptakan rasa rendah diri dan ketidakpercayaan diri bagi orang yang menjadi sasaran. Terlebih dalam era media sosial saat ini, di mana standar kecantikan dan kesuksesan semakin tinggi, komentar seperti ini dapat memperparah perasaan tidak cukup baik dalam diri seseorang.
Fenomena ini sudah begitu mengakar dalam budaya masyarakat, sehingga banyak orang menganggapnya sebagai bagian dari tradisi. Mereka yang menerima komentar-komentar ini sering kali hanya bisa tersenyum atau tertawa pahit, karena menanggapi dengan jujur bisa dianggap tidak sopan atau terlalu baper.
Padahal, jika dipikirkan lebih dalam, ini adalah bentuk tekanan sosial yang seharusnya tidak perlu terjadi dalam momen yang bertujuan membawa kebahagiaan. Kesadaran akan dampak negatif dari kebiasaan ini masih rendah, dan sering kali orang tua atau kerabat yang lebih tua menganggapnya sebagai bentuk perhatian tanpa memahami beban emosional yang bisa ditimbulkan.
Lebaran seharusnya menjadi waktu yang menyenangkan bagi semua orang, tanpa tekanan sosial yang terselubung. Oleh karena itu, perlu ada perubahan dalam cara berinteraksi. Menghindari pertanyaan personal yang sensitif bisa menjadi langkah awal untuk menciptakan suasana yang lebih nyaman.
Sebagai gantinya, lebih baik menanyakan kabar atau hal-hal yang membuat seseorang merasa dihargai tanpa harus membandingkan kehidupannya dengan orang lain. Misalnya, bertanya tentang hobi, perjalanan baru yang mereka lakukan, atau hal-hal yang membuat mereka bahagia bisa menjadi cara yang lebih sehat untuk berbicara.
Menghentikan kebiasaan membanding-bandingkan juga penting, karena setiap orang memiliki perjalanan hidupnya sendiri. Tidak semua orang memiliki jalan yang sama menuju kesuksesan, dan standar kebahagiaan setiap individu berbeda-beda.
Memberikan apresiasi tanpa perbandingan adalah bentuk penghargaan yang lebih sehat dan dapat menciptakan suasana silaturahmi yang lebih positif. Dengan begitu, orang-orang dapat lebih merasa dihargai dan diterima tanpa tekanan sosial yang tidak perlu.
Selain itu, humor sebaiknya digunakan dengan lebih bijaksana. Candaan yang baik adalah yang membuat semua orang tertawa, bukan hanya satu pihak saja sementara yang lain merasa tersinggung.
Menghindari lelucon yang bersinggungan dengan kondisi fisik, status pernikahan, atau ekonomi seseorang dapat membantu menjaga perasaan orang lain. Jika ingin bercanda, sebaiknya pilih topik yang lebih netral dan tidak menyinggung aspek personal seseorang.
Berempati dalam berkomunikasi juga merupakan kunci utama dalam menciptakan silaturahmi yang lebih hangat. Memahami bahwa setiap orang memiliki perjuangan masing-masing yang mungkin tidak terlihat di permukaan dapat membantu kita lebih bijak dalam bertutur kata.
Kadang-kadang, kehadiran dan sikap yang penuh perhatian jauh lebih berarti daripada sekadar pertanyaan basa-basi yang bisa menyakitkan.
Silaturahmi Lebaran seharusnya menjadi ajang mempererat hubungan, bukan ajang tekanan sosial terselubung. Dengan mengubah cara kita berinteraksi, kita bisa menciptakan suasana yang lebih nyaman dan menyenangkan bagi semua orang.
Mari menjadikan Lebaran sebagai momen penuh kebahagiaan yang sesungguhnya, tanpa ada unsur bullying yang tersamarkan. Setiap orang berhak merasa diterima dan dihargai, tanpa harus merasa tertekan atau dihakimi atas pilihan hidupnya.
Sumber Parekas (red..)